Foto: ist
Portalbangsa.id, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengambil keputusan kontroversial dengan menetapkan seluruh data administratif calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik. Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 ini dikeluarkan pada 22 Agustus 2025 dan langsung memicu perdebatan sengit antara hak privasi dan tuntutan transparansi publik.
Dalam keputusan yang dihasilkan melalui rapat pleno tertutup pada 6 Agustus 2025 tersebut, KPU menetapkan 17 jenis dokumen yang termasuk dalam kategori informasi tertutup. Dokumen-dokumen sensitif tersebut meliputi ijazah pendidikan, surat keterangan kesehatan, SKCK, laporan kekayaan ke KPK, hingga surat pernyataan kesetiaan Pancasila.
Ketua KPU Affifudin membela keputusan ini dengan menyatakan bahwa perlindungan data pribadi calon merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. “Kami tidak bisa membuka dokumen seperti ijazah tanpa izin karena itu melanggar privasi,” tegas Affifudin dalam pernyataan resminya.
Kebijakan ini memiliki dasar hukum yang kuat, merujuk pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 7 ayat (1), dan Pasal 17 huruf h. KPU berargumen bahwa pembukaan data pribadi berpotensi menimbulkan ancaman keamanan, stigma sosial, dan eksploitasi politik.
Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Sejumlah aktivis antikorupsi menilai keputusan ini dapat menjadi celah untuk menyembunyikan riwayat gelap para calon. Mereka menekankan bahwa calon pemimpin negara harus terbuka terhadap pemeriksaan publik mengingat mereka akan memegang amanah rakyat.
Di sisi lain, para pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa perlindungan data pribadi justru akan memfokuskan debat publik pada substansi program dan visi-misi calon, pada masalah-masalah pribadi yang tidak relevan.
Keputusan KPU ini berlaku untuk jangka waktu lima tahun sejak seseorang ditetapkan sebagai calon. Akses terhadap dokumen-dokumen tersebut hanya dapat diberikan dengan persetujuan tertulis dari yang bersangkutan atau untuk keperluan jabatan publik melalui verifikasi lembaga negara yang berwenang.
Sebagai langkah pengawasan, KPU menjanjikan evaluasi berkala terhadap implementasi kebijakan ini. Namun untuk sementara, pintu akses informasi publik terhadap data pribadi calon pemimpin nasional telah tertutup rapat.
Kebijakan ini diperkirakan akan menjadi ujian pertama bagi pemerintahan baru dalam menyeimbangkan antara hak privasi individu dan hak masyarakat untuk mengetahui track record calon pemimpin mereka. (*)

